headline photo

SURGA DI DUNIA, SURGA DI AKHIRAT

Minggu, 17 Januari 2010


Konon, usai beberapa saat tinggal di Paris pada penghujung abad 19, Muhammad Abduh, pemikir modernis dari Mesir itu, pernah berujar, "Aku temukan Islam di Eropa, tapi bukan orang Islam; sementara aku temukan orang-orang Islam di negeri Islam, tapi bukan Islam itu sendiri." Kata-kata Abduh ini sempat menimbulkan komentar pro-kontra di berbagai kalangan Islam. Kalimat itu, selintas, seperti "pemujaan" pada Eropa, dan "ejekan" pada negara-negara Islam. Bagaimana orang-orang di negeri sebrang itu bisa mencapai kemakmuran material begitu rupa dan membangun lingkungan kehidupan yang dilihat dari segi mana pun hampir-hampir menyerupai "surga".

Yang memikat dari lingkungan kehidupan di negeri-negeri itu adalah tersedianya ruang-ruang publik untuk mewadahi "spontanitas" para warga kota. Suatu siang di bulan Agustus lalu, saya berjalan-jalan di trotoar di sepanjang Pine Street di kota Seattle yang sejuk. Di tengah-tengah hiruk-pikuk orang yang lalu-lalang dengan kesibukan masing-masing, tiba-tiba muncul sekelompok musisi jazz hitam di sebuah sudut jalan. Mereka memainkan musik dengan serius dan indah; sejumlah pejalan kaki yang sedang lewat berhenti sebentar, menikmati "jeda" sesaat, melupakan pekerjaan, menaruh uang recehan, lalu pergi. Saya duduk berlama-lama menikmati "suguhan" yang janggal di tengah kesibukan kota itu.

Hampir di semua kota di "Barat", saya menemukan hal-hal seperti itu. Bahkan saya menjumpai para "pengamen" jalanan seperti itu di sejumlah stasiun-stasiun pemberhentian kereta bawah tanah (subway) di Manhattan, New York. Agak aneh, sebab subway di Manhattan biasanya selalu penuh sesak dengan para penumpang yang serba tergesa-gesa. Apakah mereka masih punya jeda waktu untuk menikmati musik para pengamen yang menurut saya sangat bagus itu? Rasanya tidak. Tapi toh para pengamen itu tak peduli. Kesan saya: para pengamen itu tak sekadar mencari uang recehan, tapi juga unjuk kebolehan. Saya teringat para pengamen yang sering memaksa-maksa para penumpang kereta ekonomi Jakarta-Yogya, dan memainkan lagu-lagu "campur sari" yang agak sembarangan, dengan modal okulele yang sudah lusuh.



Manhattam

Menurut saya, pengaruh paling konkret dari humanisme-sekuler di negeri-negeri Barat seperti Amerika (juga negeri-negeri Eropa Barat yang lain) adalah adanya semacam obsesi yang hampir-hampir menyerupai sebuah "jihad" untuk memuliakan kehidupan di dunia ini, sekarang ini juga. Tidak sekadar membayang-bayangkan sebuah "kehidupan yang mulia" di kemudian hari, di akhirat nanti. Civitas Dei atau kota Tuhan yang pernah dibayangkan oleh Santo Agustinus, dijungkirkan secara total menjadi "kota manusia", kota yang menyediakan tempat kehidupan yang nyaman buat semua orang. Ada aspek positif dari cara pandang hidup yang ingin "mengingkari" kehidupan di kemudian hari seperti yang dimiliki oleh kaum humanis-sekuler itu: karena Anda hanya hidup sekali saja di dunia ini, maka "selesaikanlah" kehidupan itu dengan sebaik-baiknya. Orang-orang yang percaya pada kehidupan di "kemudian hari" seperti orang Islam dan Kristen, atau yang percaya inkarnasi seperti orang Hindu dan Budha, akan mungkin beranggapan bahwa karena masih ada "harapan" di kemudian hari untuk mencapai kehidupan yang nyaman dan bahagia, maka anda tak perlu "kerja keras" mengerjakan dan menyelesaikan kehidupan di dunia ini.

Tentu ada sebuah hadis Nabi yang terkenal, "I'mal li dunyaka ka an-naka ta'isyu abadan, wa'mal li-akhiratika ka-annaka tamutu ghadan. (Bekerjalah untuk kehidupanmu di dunia seolah-olah anda akan hidup abadi, dan bekerjalah untuk kehidupanmu di akhirat kelak seolah-olah anda akan mati besok hari)". Hadis itu seperti ingin mengajarkan semacam "sikap total dan afirmatif" terhadap kehidupan dunia dan akhirat sekaligus; seolah ingin mendorong umat Islam membangun sekaligus Civitas Dei dan Secular City (a la Harvey Cox).

Tetapi, dalam pandangan saya: umat Islam gagal dalam dua-duanya. Tidak total dan afirmatif terhadap kehidupan dunia, juga tidak kepada kehidupan akhirat. Secara retoris "pura-pura" mengutuk kemakmuran material a la Barat, tetapi menginginkan hal yang sama; pura-pura total dan afirmatif terhadap kehidupan akhirat, tetapi dalam praktik merawat banyak sekali kemunafikan. Orang-orang humanis-sekuler beranggapan bahwa kehidupan di dunia dengan segala kenikmatan dan kesusahannya adalah "the only game in the town". Jadi: kalau kalian keok di situ, habislah "karier" hidup kalian.




Akhir-akhir ini, warga kota Jakarta sedang dihantui oleh kekhawatiran akan kualitas air sumur karena efek rembesan dari septic-tank tempat pembuangan kotoran manusia. Juga polusi udara yang sudah melewati ambang batas. Saya heran: bagaimana mungkin di sebuah kota yang padat seperti Manhattan atau Los Angeles, orang-orang Amerika masih sempat menikmati air kran tanpa khawatir terjangkit disentri, atau udara segar untuk jogging di siang hari. Saya tidak ingin membandingkan Jakarta dengan Manhattan, tentu. Tetapi yang mengganggu saya adalah: kenapa orang-orang sebrang itu memperhatikan "kenikmatan" hidup sampai yang sekecil-kecilnya? Kenapa "kita" yang sebagian besar memeluk Islam ini, seperti abai terhadap pentingnya membangun lingkungan hidup manusia yang "manusiawi".

Di kota Charlotte, di negara bagian North Carolina, saya diceritai tentang sebuah bangunan antik yang menjadi land mark kota itu. Sebuah perusahaan ingin membangun supermarket modern di tempat gedung tua itu berada. Seluruh penduduk kota protes, dan ngotot agar gedung itu dipertahankan. Perusahaan itu akhirnya mengalah, dan membangun supermarket modern dengan "disisipi" gedung tua yang antik. Di Manhattan yang begitu padat, sesak, dan merupakan pusat bisnis, tiba-tiba ada sebuah taman kota yang begitu luas sehingga menyerupai "hutan kota": Central Park. Di halaman Columbia University di New York, tempat kuliahnya Dr Azyumardi Azra dulu, saya masih melihat tupai berlarian ke sana ke mari. Saya teringat orang-orang di kampung saya di pantai utara Jawa, yang selalu menembaki tupai dan burung dengan senapan angin. Saya ingat Jakarta yang menyerupai "neraka" buat binatang.



Sekali lagi, kenapa orang-orang sebrang itu begitu "gigih" ingin menciptakan lingkungan kehidupan manusia yang nyaman, seolah-olah mereka sedang menjalankan sebuah perintah agama? Di kota-kota Belanda seperti Leiden, Utrecht, dan Amsterdam, saya begitu iri melihat penduduk kota itu pergi ke tempat kerja atau sekolah dengan mengendarai sepeda kayuh, tanpa dihantui udara yang kotor dan merusak paru-paru. Saya bayangkan, kalau Pak Sutiyoso menjadi gubernur atau walikota Leiden, dia mungkin akan melarang orang naik sepeda kayuh: tak manusiawi, mengganggu keindahan kota, atau apalah.


Amsterdam Canal



Tentu, kehidupan "sekuler" di Amerika dan Eropa bukanlah "surga" seluruhnya, dan sejarah tidaklah berhenti di sana. Beberapa tahun lalu, Robert D Putnam menulis buku Bowling Alone yang menjadi bahan pembicaraan luas di Amerika. Juga Robert N Bellah, sosiolog yang sering dikutip Cak Nur itu, menerbitkan buku Habits of the Heart pada tahun 1985, dan kemudian menjadi bahan diskusi di mana-mana. Kedua buku itu ingin mengungkap sejumlah krisis yang sedang terjadi dalam kehidupan publik di negeri itu. Bellah berbicara mengenai predatory effect dari individualisme yang kebablasan, sehingga mengikis semangat civic engagement. Putnam menengarai kecenderungan makin defisitnya "modal sosial" dalam masyarakat Amerika dengan contoh yang sederhana: makin kerapnya orang-orang di negeri itu main boling sendirian, tanpa teman atau tetangga.

Yang mau saya katakan adalah bahwa kegigihan untuk membangun surga di muka bumi ternyata menjadi tenaga pendorong bagi bangsa-bangsa Barat untuk mencapai kemakmuran material yang menakjubkan. Pertumbuhan kemakmuran dalam angka yang eksponensial di sejumlah negara Barat sejak awal abad ke-20 salah satunya, menurut saya, bisa diterangkan melalui sikap hidup sekuler yang memandang "hidup ini" sebagai satu-satunya arena untuk bertarung. Orang Jawa mengenal filosofi 'mamayu hayuning bawana' yang secara bebas kira-kira berarti, "memuliakan hidup di dunia". Tetapi yang ditekankan oleh orang Jawa dalam filosofi itu lebih cenderung pada aspek keselarasan alam dalam terang cara pandang "jagad besar-jagad kecil".

Apakah umat Islam bisa benar-benar total dan afirmatif terhadap kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, seperti perintah Hadis Nabi itu? Hingga sekarang, saya belum mendapat jawaban positif....

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters