headline photo

Benua Atlantis Itu Ternyata Indonesia

Rabu, 30 Desember 2009

Prof. Arysio Santos

Beberapa waktu lalu ada seorang teman memasang status di FB, dia mengatakan bahwa ternyata Indonesia merupakan benua Atlantis yang hilang berdasarkan temuan dan penelitian seorang geolog dan juga fisikawan nuklir asal Brasil yang telah melakukan penelitian selama kurang lebih 30 tahun. Kami tertarik dan mencari informasi lengkapnya di internet.

Lantas apakah kita patut berbangga atau justru cemas mengingat hilangnya benua Atlantis itu sendiri diakibatkan serentetan letusan gunung berapi secara serentak, mengakibatkan gempa, pencairan es dan banjir, dimana sebagian dari gunung itu kini telah aktif kembali.

Adanya benua Atlantis ini pertama kali dikemukakan oleh Plato (427 – 347 SM). Dia menyatakan bahwa puluhan ribu tahun yang lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Arysio Santos, sang ilmuan, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, dia menghasilkan buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu Indonesia. Sistem terasiasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Perhatikan Checklist yang ditampilkan dari perbandingan berikut dan lihatlah pada kolom The East Indies (India dan Indonesia) yang menampilkan kecocokan 100%:


Klik gambar untuk memperbesar

Teori Plato mengatakan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliputi oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang merupakan puncak gunung yang meletus saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.

Plato juga menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Ada perbedaan pandangan antara Santos dan Plato mengenai lokasi Atlantis. Simak laporan lengkapnya yang sudah kami sediakan  di bawah.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencara, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya**

Seperti ditulis oleh Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D. (Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Perancis.

Download laporan selengkapnya disini.

Mengapa Bayi Menangis Setelah Dilahirkan?

Senin, 28 Desember 2009



Salah satu peristiwa besar yang terjadi di dunia ini adalah peristiwa kelahiran manusia ke dunia ini. Itulah hari paling bersejarah dalam kehidupan seseorang. Bahkan entah sejak kapan, orang mulai merayakan hari kelahirannya. Ini sah-sah saja sebagai permohonan atau doa untuk kebaikan dan kemanfaatan di kehidupannya selanjutnya.


Sebagaimana dimaklumi memperbanyak keturunan adalah sunnah. Nabi SAW menganjurkan kita untuk memperbanyak keturunan yang shaleh. Sebagaimana sabda beliau:
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang (keibuan) yang banyak anak (subur) karena aku berbangga-bangga dengan (jumlah) kalian di hadapan umat-umat”. (HR. Abu Daud, An-Nasa’i, Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Dzahabi)


Meski ada anjuran pemerintah untuk merencanakan kelahiran dan membatasi hanya dua anak saja, hendaklah sebagai muslim kita mendahulukan pertimbangan dengan merujuk pada hadits ini. Apalagi bagi kita yang berkecukupan dalam hal materi. Ketakutan akan tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang juga menjadi salah satu sebab digencarkannya program KB tentu tidak menjadi masalah. Bahkan bagi kita yang kekurangan sekalipun, Allah telah menetapkan bahwa setiap makhluk bernyawa di dunia ini telah di tetapkan rejekinya. Sehingga setiap bayi yang terlahir ke dunia ini pasti juga membawa ketetapan ini.


Ada satu pertanyaan menarik: “Mengapa setiap bayi yang baru saja dilahirkan ke dunia ini menangis?. 

Rasanya tidak pernah kita jumpai ada bayi yang baru saja lahir yang tidak menangis. Biasanya mereka menangis melengking seakan mereka bertanya-tanya dimana aku ini? Ini dimana sih?


Tangisan ini sebagaimana disabdakan Rasulullah, disebabkan oleh tusukan syaitan. Anak kecil itu belum mengenal dunia sedikitpun, namun syaitan telah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. Berikut sabdanya:


"Jeritan anak ketika dilahirkan adalah (karena) tusukan dari syaitan". (HR. Bukhori dan Muslim)
Kemudian beliau SAW juga bersabda:
“Tidak seorang anak pun yang lahir malainkan syaitan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan syaitan itu kecuali pada Isa dan Ibunya (Maryam)”


Abu Hurairah menganjurkan sebuah doa. Dia berkata: bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi):

“Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak turunannya dari syaitan yang terkutuk” (QS: 3: 36)


Lalu bagaimana lagi keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu. Bagaimana keadaannya jika telah bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya?


Maka kita harus menghalangi penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan syaitan ini. Karena itulah syari’at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya, bahkan sejak lahir kedunia ini hingga nanti menemui Tuhannya.

Bila Al Qur'an Bicara

Sabtu, 26 Desember 2009


"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."         (QS Al A'raaf  : 36).

Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku. Dengan wudu' aku kau sentuh, dalam keadaan suci aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari. Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari. Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra.

Sekarang engkau telah dewasa... Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku... Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah... Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu. Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?

Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya.

Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu. Kadang kala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa. Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan. Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dalam kesepian. Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.

Dulu...pagi-pagi...surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman. Sore harinya aku kau baca beramai-ramai bersama temanmu di surau..... Sekarang... pagi-pagi sambil minum kopi...engkau baca koran pagi atau nonton berita TV. Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia. Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa, engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan...

Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surah2ku (basmalah). Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi. Tidak ada kaset yang berisi ayat Allah yang terdapat padaku di laci mobilmu. Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu. Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku.

Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja. Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu. Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun. E-mail temanmu yang ada ayat-ayatkupun kadang kau abaikan. Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu. Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku.

Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV.
 
Menonton pertandingan Liga Italia, Musik atau Film dan Sinetron laga. Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk. 

Waktupun cepat berlalu...aku menjadi semakin kusam dalam lemari. Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu. Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali. Itupun hanya beberapa lembar dariku. Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu. Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.

Apakah Koran, TV, radio, komputer, dapat memberimu pertolongan? Bila engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba. Engkau akan diperiksa oleh para malaikat suruhan-Nya. Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selamat melaluinya.

Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu...
Setiap saat berlalu...kuranglah jatah umurmu...
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu
Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu.

Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati...
Di kuburmu nanti....
Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan
Yang akan membantu engkau membela diri
Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu
Dari perjalanan di alam akhirat
Tapi akulah "Qur'an" kitab sucimu
Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu

Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari
Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci
Yang berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui
Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.

Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu...
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu
Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu
Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu

Sentuhilah aku kembali...
Baca dan pelajari lagi aku....
Setiap datangnya pagi dan sore hari
Seperti dulu....dulu sekali...
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos...
Di surau kecil kampungmu yang damai

Jangan biarkan aku sendiri....
Dalam bisu dan sepi....

"Utamakan SELAMAT dan SEHAT untuk duniamu, Utamakan SHOLAT dan ZAKAT
untuk akhiratmu"

Oleh: Dedi Junaedi

Masjid-Masjid Bersejarah

Jumat, 25 Desember 2009


1. 2. 
1.  Masjid Al-Haram Makkah

Masjid pertama yang dibina oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail a.s pada sekitar tahun 2793 sebelum Hijrah di Makkah Mukarramah, Arab Saudi. Masjid ini adalah masjid pertama dalam sejarah. Di dalam masjid ini terdapat Ka'bah sebagai kiblat Umat Islam dan tempat Umat Islam menunaikan ibadat Haji. Masjid ini telah beberapa kali dibuat pembaharuan dan perluasan serta dibangun pula sebuah perpustakaan besar di masjid ini. Setiap tahun terdapat lebih dari 800 juta orang umat Islam mengunjungi masjid ini untuk menunaikan ibadah Haji/umroh dan tawaf mengelilingi Ka'bah.
Shalat di Mesjid ini sama dengan 100.000 kali shalat di tempat lainnya.



2.  Masjid Nabawi Madinah


Shalat di tempat ini sama dengan 10.000 kali shalat di tempat lain..
Juga terdapat makam Rasulullah saw di dalamnya dan terdapat Raudah al-Jannah (Taman Surga)

Masjid ini dibangun oleh Rasulullah s.a.w pada tahun (1 Hijrah - 622 Masehi). Ia merupakan masjid kedua dalam sejarah Islam dan merupakan pusat pemerintahan Islam yang pertama. Selain dari itu, masjid ini merupakan Masjidil Haram kedua yang dianjurkan untuk bersusah-payah untuk mengunjunginya, sebagai pusat kerohanian, pemikiran dan politik bagi Jemaah Islam serta lambang penyatuan umat Islam. Di sinilah lahirnya dustur perundangan Islam yang pertama.
--------->
3.4. 
3 dan 4.   Mud Mosque.. Masjid Besar Djenne

Tiga Menara Masjid Besar yang terkenal mengadap pasar pusat Djenné. Masjid Besar Djenné adalah bangunan bata tanah liat di dunia dan di anggap oleh para arsitek sebagai gaya seni bangunan Sudano-Sahelian, walaupun dengan pengaruh Islam yang jelas. Masjid ini terletak di bandar Djenné, Mali di dataran  ali sungai Bani. Masjid ini pertama  dibangun pada abad ke-13, tetapi strukturnya telah ada semenjak 1907. Selain merupakan pusat masyarakat Djenné, ia adalah salah satu situs yang terkenal di Afrika. Bersama dengan keseluruhan bandar Djenné ia telah disiarkan sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) oleh Organisasi Kebudayaan, Sains, dan Pendidikan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization - UNESCO) pada 1988.
--------->

56. 
5.   Masjid-Qait-Bey-Mesir
6.   Masjid-Quba-Madinah..
--------->
7.8.
7.   Masjid-Jamie-Sulaimaniah-Turki...

Masjid ini dibangun oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni. Di dalamnya dikebumikan jenazah Salim 1, salah seorang khalifah kerajaan Othmaniah. Masjid ini terletak di kawasan perkuburan di belakang Universitas Istanbul yang merupakan salah satu peninggalan sejarah Islam yang masih ada hingga sekarang. Masjid ini mempunyai empat buah mimbar. Batu-batu marmar yang digunakan untuk membina masjid ini di ambil dari kepulauan Marmarah, Semenanjung Tanah Arab dan Yaman. Ia dihiasi dengan perhiasan yang berwarna-warni dan seni khat hasil tulisan Ahmad Qurah dan Hasan Syalabi yang merupakan penulis khat yang termasyhur pada zaman pemerintahan kerajaan Othmaniah. Di dalam masjid ini juga dibangun sebuah perpustakaan yang besar.

8.   Masjid-Delhi-India

Masjid ini dibangun oleh Sultan Syah Jahan pada zaman pemerintahan Islam abad ke 17 (1644 - 1658 Masehi) di bandar Delhi, India. Masjid ini adalah sebuah masjid yang terbesar di India, bentuk bangunan masjid ini adalah berbentuk bangunan khas India yang digabungkan dengan corak Candi Budha dan seni ukir India sebelum Islam. Ia mempunyai dua buah menara setinggi 40 meter dengan bentuknya yang sangat unik dan menarik.
--------->
9.10
9 dan 10.  Masjid-Samara-Iraq

Masjid ini dibangun oleh Khalifah Kerajaan Abbasiah yaitu Sultan al-Mutawakkil pada tahun (218 - 228 Hijrah) (833 - 843 Masehi) di bandar Samara' Iraq. Bangunan masjid ini mirip benteng pertahanan di mana menaranya dikelilingi dengan tangga yang mengingatkan kita kepada menara Babel. Masjid ini mempunyai 16 buah pintu yang merupakan sebuah masjid yang terluas di bangun ketika itu. Namun sayang masjid bersejarah ini rusak parah terkena imbas invasi Amerika beberapa waktu lalu. Pengeboman masjid suci kaum sunni ini dilaporkan dilakukan oleh sekawanan yang berseragam aparat polisi.
--------->
1112.
11.   Masjid-Asfahan-Iran..

Masjid asy-Syah al-Kabir yang dibangun di bandar Asfahan, Iran. Banyak dari kalangan ulama yang menisbahkan namanya kepada masjid ini.

12.   Masjid-Al-Azhar-Mesir

Masjid ini dibangun oleh Jauhar as-Siqilli di bandar Kaherah atas arahan Khalifah Fatimiah al-Muiz Lidinillah. Masjid ini dibangun antara tahun (359 - 361 Hijrah) ( 970 - 972 Masehi). Ia merupakan sebuah masjid yang terkenal pula sebagai sebuah pusat kajian Islam. Dinamakan dengan al-Azhar sebagai isyarat kepada az-Zahra' yaitu gelar Saidatina Fatimah puteri Rasulullah s.a.w. Masjid ini mulai berfungsi sebagai sebuah Universitas pada zaman pemerintahan kerajaan Mamalik, kemudian pada tahun 1961 Masehi ia berubah menjadi sebuah Universitas modern yang mempunyai beberapa fakultas. Al-Azhar dianggap sebagai pusat penyebaran pemikiran Islam, politik dan ilmu-ilmu agama di negara Mesir serta dunia Islam secara keseluruhan. Masjid ini mempunyai lima buah menara dalam berbagai bentuk serta mempunyai 13 mihrab. Di dalam masjid ini terdapat sebuah perpustakaan yang sangat besar.
--------->
13.14.
13.   Mesjid-Qishas-Jeddah


Disini dilaksanakan hukum Qishas setiap hari Jum'at..(kalau banyak yg akan diqishas, kadang dilaksanakan juga sampai hari Sabtu) Qishas/potong tangan, dll.. tergantung kesalahan masing-masing.
Namun melihat masjid tersebut dari dekat, jauh dari kesan mengerikan. Suasananya sama seperti kita berada di masjid-masjid lainnya. Masjid Qishash menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi. Ada rasa penasaran, mengingat fungsinya tidak hanya tempat salat semata.

14.  Masjid Namira Arafat. Masjid terbesar di Arafah
--------->
15.   16.
15.   Masjid-Qiblatain-Makkah


Menurut penjaga mesjid, Abdullah Al Aqil, para jamaah haji rata-rata tidak memahami betul kisah soal masjid ini. Saat turunnya perintah menghadap kiblat, sahabat Bani Salamah sedang salat ashar, tengah melaksanakan rakaat kedua menghadap Baitul Maqdis. 

Karena sahabat utusan Rasulullah datang, memberitahukan telah turun wahyu salat menghadap Ka'bah Bani Salamah yang menjadi imam langsung memutar arah salatnya secara berlawanan ke arah Masjidil Haram, Makkah. 

"Mereka berebut salat di situ karena mereka mengira Nabi salat di sini dulu. Itu tidak benar sebagaimana diriwayatkan di hadis Imam Bukhori. Masjid ini hanya milik sahabat Nabi, Bani Salamah. Jadi yang berpindah arah kiblat ini bukan Nabi, bukan Nabi yang salat di sini. Tapi sahabat Nabi, yakni Bani Salamah, makanya disebut Qiblatain. Saya sudah berkali-kali menjelaskan, tapi yang datang silih berganti ya susah juga," katanya.





16.   Masjid-Khaif-Mina

Di Mesjid ini ketika musim haji, Shalat Dzuhur hanya dilaksanakan 2 rakaat. Shalatnya diqashar.. keringanan dari Allah untuk para jemaah haji)

--------->
17.
17.   Mesjid-Kucing


Mesjid ini adalah Mesjid Abu Hurairoh..
Kenapa disebut mesjid Kucing? kabarnya karena Abu Hurairoh sangat menyukai kucing..
Wallahu a'lam
--------->
18.19.20.

18, 19 dan 20.  Masjid Jin

Tempat dimana Jin Masuk Islam di hadapan Rasulullah saw karena terpesona dengan bacaan Al-Quran yang dibacakan Rasulullah saw..Menara di belakangnya tidak termasuk mesjid.. Itu adalah hotel yang terletak tepat di belakang mesjid
--------->
21.22.
23.24.
25.26.

21.   Masjid-As-Sokhroh-Palestina

Batu As-Sakhrah di kota tua Jerusalem (Al Quds) merupakan salah satu simbol sejarah Isra Mi'raj. Batu besar seukuran rumah tipe 36 itu merupakan "landasan pacu" saat Nabi Muhammad diangkat ke langit untuk BerIsra Mi'raj bersama Malaikat Jibril. Karena posisinya yang tergantung di kubah Baitul Maqdis, As-Sakhrah juga dikenal dengan hanging rock. Sakhrah artinya Batu (the Stone).
Batu tersebut kemudian diabadikan dengan mesjid ini untuk melindunginya yang kemudian disebut dengan mesjid As-Sokhroh..
Masjid ini telah dibangun pada zaman Khalifah Umawi, Abdul Malik bin Marwan di antara tahun (65-86 Hijrah), (684-705 Masehi) di bandar Baitulmaqdis (Jerusalem). Masjid ini merupakan sebuah bangunan masjid yang unik dalam dunia arkitek Islam karena mengikuti kedudukan batu sebagai tempat permulaan Mi'raj Rasulullah s.a.w ke langit (Sidratul Muntaha). Masjid ini telah beberapa kali direnovasi serta dihiasi dengan mozek dan batu jubin Turki pada tahun 1554 Masehi. Dan kaum yahudi mengalihkan perhatian dunia dengan menganggap mesjid inilah Masjidil Aqsha untuk bisa menghancurkan Masjidil Aqsha yang mulia

22 - 24.   Masjidil-Aqsha-Palestina

Salah satu dari 3 mesjid Mulia dalam Islam..Shalat disini sama dengan 100 kali shalat di tempat lain..Bandar Al-Quds terletak di garis bujur 35 derajat dan di garisan lintang 31 derajat. Merupakan bandar yang tertua di dunia, di mana ia telah dibangun pada tahun 3000 Sebelum Masihi.
Di dalam bandar ini terdapat Masjidilaqsa yang juga termasuk di antara masjid yang tertua di dunia setelah Masjidilharam. Imam Bukhari dan perawi-perawi yang lain telah meriwayatkan sebuah hadis: Nabi s.a.w ditanya: Masjid yang manakah pertama kali dibangun di atas muka bumi? Lalu baginda bersabda: Masjidilharam. Setelah itu baginda di tanya lagi: Setelah itu? Baginda bersabda: Masjidilaqsa. Kemudian baginda ditanya: Berapakah jarak pembinaan di antara keduanya? Baginda menjawab: 40 tahun.
Di dalam Islam Masjidilaqsa mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, di mana ia merupakan kiblat pertama bagi umat Islam dan Nabi s.a.w sendiri pernah mendirikan sembahyang sebanyak 17 bulan secara menghadap ke arah Masjidilaqsa, kemudian baginda menukar arah kiblat ke Masjidilharam setelah diturunkan perintah oleh Allah supaya baginda berbuat demikian.
Dari masjid inilah juga Rasulullah s.a.w dimikrajkan ke langit selepas baginda diisra'kan dari Masjidilharam ke Masjdilaqsa selama satu malam dan mendirikan sembahyang bersama seluruh para nabi-nabi sebelum baginda melakukan perjalanan Mikraj ke langit.

25 dan 26.   Masjid-As-Sokhroh dan Masjidil-Aqsha

Mesjid Al-Aqsha yg berkubah hijau & As-sokhroh yang berkubah emas..kaum Yahudi berusaha memindahkan fikiran kita agar mereka dengan mudahnya menghancurkan Masjidil Aqsha yang mulia ini.. Mudah"an diberi kesempatan untuk mengunjunginya.. amiinn..
--------->
27.28.
27.   Masjid-Ali
28.   Masjid-Al-Jumaah Madinah
--------->
29. 30.
29.   Masjid-e-Gamama
30.   Masjid-Jamie-Sulaimaniah-Turki
--------->
31. 32. 
31.   Masjid-Mashar-Muzdalifah
32.   Masjid-Shajarah-Masjid-Ali
--------->
33
33.   Mesjid-Abu-BakarMakkah

Ilmu Dan Ibadah

Rabu, 23 Desember 2009




Ilmu dan Ibadah merupakan dua permata yang karena keduanya terlahir segala yang terlihat dan terdengar, baik dari karya pengarang, ajaran  para guru, maupun nasehat para waskita. Bahkan karena keduanya, kitab-kitab diturunkan dan para rasul diutus. Demikian juga, langit dan bumi beserta isinya diciptakan. Seperti  firmanNya dalam 065.12:

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu” (QS. 65: 12)

Ayat ini menjelaskan pentingnya ilmu pengetahuan dan kemuliaannya, lebih-lebih ilmu tauhid (teologi).

Serta dalam QS. 51. 56:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku” (QS. 51: 56)

Ayat  di atas menerangkan pentingnya laku ibadah dan kemuliaannya, serta kewajiban untuk melaksanakannya. Ilmu dan ibadah menjadi tujuan terbesar dalam penciptaan dunia dan akhirat.


Tentang ilmu dan ibadah ini Nabi SAW. bersabda:
Sesungguhnya keutamaan orang yang mengetahui (‘Alim) terhadap orang yang melaksanakan ibadah (‘Abid) adalah seperti keutamaanku terhadap umatku yang paling rendah.”

Jelaslah bahwa ilmu adalah permata yang lebih mulia daripada ibadah. Kendatipun kedudukan ilmu lebih didahulukan daripada ibadah, namun seorang hamba tetap berkewajiban beribadah sesuai dengan ilmu, yaitu ilmu ibadah, jika tidak demikian, maka dikhawatirkan ilmu itu tidak berguna atau hanya sia-sia belaka.

Rasulullah SAW bersabda untuk menjelaskan karakter ilmu:

“Orang tidur yang mengerti ilmunya tidur lebih baik daripada orang shalat yang tidak mengerti ilmunya shalat.”

Makna dan pengertian Hadits diatas, disisi Allah: bahwa salah satu kemalangan orang yang beramal tanpa disertai ilmu adalah karena dia tidak mempelajari ilmu, sehingga dia sengsara dan payah dalam melaksanakan ibadah, yang kemudian berakhir dengan hilangnya pahala. Dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kepayahan dan kesusahan yang tidak berguna.

Alasan kedua yang mengharuskan untuk mendahulukan ilmu adalah bahwa ilmu yang bermanfaat menghasilkan rasa takut (khasysyah) kepada Allah SWT dan mahabbah kepada-Nya. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah ulama (orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.” (QS. 35:28)

Ilmu menjadi pondasi dasar yang mengharuskan kita mendahulukannya daripada ibadah, agar kita menemukan maksud dan tujuan ibadah itu dengan benar, sehingga ibadah tersebut bisa diterima disisi-Nya. Karena itu, pertama-tama kita harus mengetahui siapa yang wajib disembah (al-Ma’bud), lalu kita menyembah-Nya. Bagaimana jadinya, jika kita menyembah Zat, yang kita sendiri tidak mengetahui nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya, baik yang wajib maupun mustahil. Barangkali kita mengiktikadkan al-Ma’bud dan sifat-sifat-Nya dengan sesuatu, serta berlindung kepada Allah, dengan hal-hal yang tidak layak, sehingga ibadah kita hanya menjadi kesia-siaan belaka.

Setelah mengenal al-Ma’bud kita harus mengetahui kewaiban-kewajiban syara’, berupa apa yang diperintahkan dan dilarang pada kita. Jika kita tidak mengerti apa yang harus dilaksanakan dan tinggalkan,  lantas bagaimana kita bisa melakukan ketaatan, yang kita sendiri belum mengetahui definisinya; bagaimana ketaatan itu sebenarnya; dan bagaimana harus dijalankan? Bagaimana kita menjauhi kemaksiatan, sementara kita tidak mengetahui bahwa hal itu adalah kemaksiatan, sehingga kita tidak tergelincir di dalamnya?

Ibadah-ibadah syara’, seperti bersuci (thaharah), salat, puasa, serta yang lain, mengharuskan kita untuk mengetahuinya, berupa pelbagai hukum, syarat dan rukunnya, sehingga kita dapat melaksanakannya berdasarkan Sunah. Barangkali kita telah bertahun-tahun menunaikan suatu amal yang kita sangka baik, namun pada kenyataannya, amal itu termasuk sesuatu yang membatalkan thaharah-kita dan salat kita, serta menjadikan kedua amal itu bertentangan dengan teks Sunah, sedangkan kita tidak merasakan hal itu. Barangkali kita dihadapkan pada suatu masalah, dan kita tidak tahu kepada siapa harus mengadukan masalah tersebut, sedangkan kita sendiri belum pernah mempelajarinya. Kondisi seperti ini juga berlaku pada beberapa ibadah yang bersifat batiniah, seperti amal-amal kalbu yang mengharuskan kita memahaminya. Hal itu bisa juga berupa tawakkal kepada Allah SWT, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, sabar dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, bertaubat dari segala dosa, dan ikhlas, serta amal ibadah lainnya.

Demikian pula, kita harus mengetahui larangan-larangan-Nya, yang menjadi kebalikan sifat-sifat diatas, seperti iri, dengki, pamer (riya), sombong, dan lain sebagainya, agar kita dapat menjauhinya.

Pepatah berkata:
Barangsiapa yang beramal tanpa disertai ilmu, amalnya melayang berputar-putar diangkasa tiada diterima.

Selamat Hari Ibu (Happy Mother's Day)

Selasa, 22 Desember 2009

Hari Ibu di Indonesia




Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.

Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung.

Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa.

Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, pesta kejutan bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari.


Mother's Day

Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Klik disini untuk melihat perbedaan peringatan Hari Ibu di berbagai negara.

Original Article: Wikipedia.org

Seri Galeri Cerpen: Di Bawah Lindungan Ka'bah 2

Minggu, 20 Desember 2009

TEGAK DAN RUNTUH






Telah lalu kejadian itu dan dia telah memberi kesan ke dalam jantung saya; rupa-rupanya kedukaan dan cubaan mesti diturunkan kepada manusia secukup-cukupnya dan sepuas-puasnya, menanglah siapa yang tahan.

Sejak kematian itu tidak beberapa kerap lagi saya datang ke rumahnya, saya karam dalam permenungan, memikirkan hidup saya di belakang hari, sebatang kara di dunia ini.

Pada suatu petang sedang matahari akan tenggelam ke dasar lautan di Batang Arau, di antara Hujung Gunung Padang, di celah-celah ombak yang memecah ke atas pasir yang putih di Pulau Pandan, di waktu saya sedang berjalan seorang diri di pesisir Batang Arau yang indah, melihat perahu keluar masuk, tiba-tiba...... kelihatan oleh saya sebuah perahu tumpangan datang dari seberang, di atasnya duduk tiga orang perempuan yang agak tua, bertudung kain bugis halus, setelah perahu kecil itu hampir, keluar dari dalamnya perempuan-perempuan itu, seorang di antaranya ialah Mak Asiah sendiri, ia lekas melihat saya, "Oh, engkau Hamid? Mengapa di sini?" Katanya.

"Berjalan-jalan emak," jawabku; "Dan emak dari mana?"


"Dari menziarahi kubur bapamu mengapa engkau tak datang ke rumah semenjak ibumu meninggal? Kerana Engku Haji Jaafar tiada lagi, akan engkau alangi saja datang ke rumah?"

"Tidak emak, Cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak mendukacitakan hatiku, itu sebab saya kurang benar keluar rumah.”

"Tak boleh begitu, Hamid; sebabnya engkaulah yang mesti menyabarkan hati kami. Besok engkau mesti datang ke rumah, ibu tunggu kedatanganmu, banyak yang perlu kita bincangkan."

"Baiklah mak."

"Saya tunggu, ya?"

"Baik, mak!"

Setelah itu ia pun pergi di tengah jalan, sebelum mereka naik dari sampan, rupanya pembicaraan mereka terhadap diri saya saja. Kerana tak berapa jauh langkahnya, perempuan-perempuan tua yang lain semuanya menoleh kepada saya sebagai rupa orang menunjukkan belas kasihan.

Besoknya janji itu pun saya tepati.

Wahai tuan, hari itulah masa yang tak dapat saya lupakan! Saya datang ke rumah itu, rumah tempat saya bersenda gurau dengan Zainab di waktu kecil, rumah itu seakan-akan hilang semangat dan memang kehilangan semangat, kerana bekas-bekas kematian masih kelihatan nyata. Pintu luar terbuka sedikit dan saya ketuk pintunya yang mengadap ke dalam; pintu terbuka. Zainab yang membukakan.

"Abang Hamid!" katanya.

Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat gembiranya melihat kedatangan saya. Baru sekali itu dan baru saat itu selama hidup saya melihat mukanya demikian, yang tak pernah saya gambarkan dan tuturkan dengan susunan kata, pendeknya wajah yang memberikan saya penuh pengharapan.

"Bang Hamid!" katanya menyambung perkataannya, "Sudah lama benar abang tak kemari, lupa agaknya abang kepada kami!"

Gugup saya hendak menjawab; saya pintar mengarang khayal dan angan-angan tetapi bila sampai di hadapannya saya menjadi seorang yang bodoh.

"Tidak, Zainab" jawabku dengan gugup; "Tetapi, bukankan kita sama-sama kematian?"

"Memang, kematian itulah yang sepatutnya menjadikan abang kerap kemari."

Seketika itu mukanya kembali ditekurkannya menghadapi kakinya, tangannya berpegang ke pinggir pintu, rambutnya yang halus menutupi sebahagian keningnya dan sepatah kata pun dia tidak berbicara lagi.

"Zainab kataku pula." Sebetulnya tidak saya pernah lupa datang kemari, barangkali engkaulah agaknya yang lupa kepadaku."


Mendengar itu ia bertambah menekur, tak berani ia mengangkat muka lagi, dan saya pun gugup hendak menambah perkataan, memang bodoh saya ini, dan pengecut!

Tiba-tiba dalam saya menyediakan perkataan yang akan saya katakana pula dalam sedang merenungi kecantikan Zainab, kedengaranlah dari halaman tapak kaki emak Asiah menginjak batu; Zainab mengangkat mukanya seraya berkata: "Itu ibu datang."

Saya masih dalam kebingungan, Zainab lalu kehadapan saya mengadap kedatangan ibunya.

Ketika sampai ke beranda dia berkata "Sudah lama Mid?"

"Baru sebentar, mak" jawabku.

Saya disuruh duduk, Zainab dengan segera pergi ke belakang memasak kopi sebagaimana kebiasaannya. "Hampir mak terlupa akan janji kita. Tadi mak pergi ke rumah orang sebelah kerana tiada lama lagi dia akan mengahwinkan anaknya; jadi dari sekarang sedang bersiap-siap menyediakan yang perlu, maklumlah tetangga, perlu bantu-membantu."

Saya dengarkan perkataannya, tetapi fikiran saya masih tetap ingat kepada kejadian tadi. Fikiran saya menjalar kemana-mana, memikirkan tegur Zainab dan mukanya yang merah ketika mula-mula melihat saya; hanya suatu kejadian yang tiba-tibakah itu, atau adakah dia merasai apa yang saya rasai? Dalam pada itu Mak Asiah masih tetap membicarakan beberapa perkara menyebut-nyebut jasa suaminya, menyebut kebaikan ibuku. Akhirnya sampai pembicaraan kepada Zainab.

"Bagaimanakah fikiranmu Hamid, tentang adikmu Zainab ini?"

"Apakah yang emak maksudkan?” tanya saya.

"Semua keluarga di darat (darat adalah sebutan dari Padang Halus) telah bermuafakat dengan emak hendak mempertalikan Zainab dengan seorang anak saudara almarhum bapamu, yang ada di darat itu, dia sekarang sedang bersekolah di Jawa. Maksud mereka dengan perkahwinan itu supaya hartabenda almarhum bapanya dapat dijagai oleh familinya sendiri, oleh anak saudaranya, sebab tidak ada saudara yang lain, dialah anak yang tunggal. Pertunangan itu telah dirunding oleh orang yang sepatutnya, jika tiada aral melintang, bulan depan hendak dipertunangkan dahulu, nanti apabila tamat sekolahnya akan dilangsungkan perkahwinan. Hal ini telah mak rundingkan dengan Zainab, tetapi tiap-tiap ditanya dia menjawab belum hendak bersuami, katanya, tanah perkuburan ayahnya masih merah, airmatanya belum kering lagi. Itulah sebabnya engkau disuruh kemari, akan emak lawan berunding, mak masih ingat pertalian engkau dan Zainab masa engkau kecil dan masih sekolah; engkau banyak mengetahui tabiatnya apalagi engkau tidak dipandangnya sebagai orang lain, sukakah engkau Hamid, menolong emak?" lama saya termenung.

"Mengapa engkau termenung, Hamid? Dapatkan engkau menolong emak, melembutkan hatinya dan memujuk ia supaya mahu? Hamid!.... emak percaya sepenuh-penuhnya kepadamu sebagai almarhum bapamu percaya kepada engkau!”

"Apakah yang akan dapat saya bantu mak? Saya seorang yang lemah. Sedangkan ibunya sendiri tak dapat mematah dan melembutkan hatinya apatah lagi saya orang lain, anak semangnya."

"Jangan bercakap begitu, Hamid, engkau bukan emak pandang sebagai orang lain lagi, almarhum telah memasukkan engkau ke dalam golongan kami, walaupun beragih tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya hari ini, di atas nama Haji Jaafar mak meminta tolong melembutkan hati adikmu."

"Oh itu namanya perintah, saya kabulkan permintaan mak."

Mukanya kelihatan gembira, meskipun dia tak sempat memperhatikan bagaimana perubahan muka saya yang telah muram. Kemudian keluarlah Zainab membawa dua cawan kopi dan beberapa piring kuih. Ibunya melihat kepadanya dengan kasih dan mesra, kerana pada diri anaknya itulah tergantung pengharapannya dan penghabisan.

"Duduk, Nab, abangmu Hamid hendak berkata-kata sepatah dua kata dengan engkau."

Saya masih agak bingung dan Zainab telah duduk dekat ibunya dengan wajah kemalu-maluan.

Beberapa minit lamanya tenang saja dalam ruangan itu tak seorang jua pun di antara kami yang berkata; ibunya seakan-akan menunggu supaya perkataan itu lekas dimulai, Zainab kelihatan malu tak mahu melihat muka saya, sedang saya masih termenung memikirkan dari manakah percakapan itu akan saya mulai.

"Bicaralah, Hamid, amat banyak masa terbuang," kata ibu dengan tiba-tiba. Sulit sekali untuk memulai pembicaraan itu, sulit menyuruh seorang mengerjakan suatu pekerjaan yang berat hatinya melakukan, pekerjaan yang berlawanan dengan kehendak hatinya sendiri. Tetapi di balik itu, sebagai seorang anak muda yang telah dicurahi orang kepercayaan dengan sepenuhnya, yang sudi mengorbankan jiwa untuk menyimpan rahsia. Akhirnya hati saya dapat saya bulatkan dan mulai berkata:

"Begini Zainab. Sudah lama ayah meninggal, semenjak itu lenganglah rumah ini, tiada seorang pembela pun yang akan dapat menjaganya. Selain dari itu, menurut aturan hidup di dunia, seorang gadis perlulah mengikut perintah orangtuanya, terutama kita orang Timur ini. Buat menunjukkan setia hormatnya kepada orangtuanya, ia perlu menekan perasaan hati sendiri. Dia mesti ingat sebuah saja, yaitu mempergunakan dirinya, baik murah atau mahal, untuk berkhidmat kepada orangtuanya."

"Sekarang, kerana memikirkan kemuslihatan rumahtangga dan memikirkan hati ibumu, pada hal hanya sendiri lagi yang dapat engkau khidmati, ia berkehendak supaya engkau mahu dipersuamikan dengan kemanakan ayahmu."

Seakan-akan terlepas dari suatu beban yang maha hebat saya rasanya, setelah selesai perkataan yang sulit itu. Selama saya berbicara Zainab masih tetap menekur ke meja, tanganya mempermain-mainkan sebuah pontong macis, diramas-ramasnya dan dipatah-patahnya, belum sebuah juga perkataan keluar dari mulutnya. Setelah kira-kira lima minit lamanya, barulah mukanya diangkat, airmatanya kelihatan mengalir, mengalir setitik dua titik ke pipinya yang halus dan indah itu.

"Bagaimana, Zainab, jawablah perkataanku!"

"Belum abang, saya belum hendak kahwin.”

"Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu."

"Belum abang!"


"Sampai hati abang memaksa aku?"

"Abang bukan memaksa engkau, adik, ingatlah ibumu."

Mendengar itu dia kembali terdiam, ibunya pun terdiam, ia telah menangis pula. Karam rasanya bumi ini saya pijakkan, gelap tujuan yang akan saya tempuh. Dua kejadian yang hebat telah membayang dalam kehidupan saya sehari itu, tak ubahnya dengan seorang yang bermimpi mendapat sebutir mutiara ditepi lautan besar, sebelum mutiara itu dibawa pulang, tiba-tiba sudah tersedar; meskipun mata dipaksa hendak tidur, mimpi yang tadi telah tinggal mimpi, ia telah tamat sehingga itu tidak akan bertambah-tambah lagi.

Selama ini saya masih ragu, adakah Zainab membalas cinta saya; pertemuan saya dengan dia itu memberikan pengharapan sedikit pada saya, tetapi belum pengharapan itu dapat saya yakini tibalah penyerahan ibunya yang berat itu.

Hanya hingga itu dapat saya ceritakan kepada tuan apa yang terjadi sehari itu. Setelah itu saya pun pulang ke rumah saya, di jalan pulang saya rasakan badan saya sebagai bayang-bayang tanah serasa bergoyang saya pijakkan.


BERJALAN JAUH 

Dua kejadian yang berjuang pada hari itu, cukuplah untuk menentukan tujuan nasib saya; nikmat hati hanya lalu sebagai khayal belaka. Setelah melayap laksana satu bayangan, ia pun hilang dan tidak akan kembali lagi. Kepada Tuhan dapatlah saya menghantarkan satu kesyukuran yang bersih, sebab saya telah dapat memberikan suatu pengorbanan untuk seorang perempuan yang lemah, saya telah menolongnya, memujuk anaknya yang keras.

Untuk itu perasaan hati sendiri telah saya tekankan; sungguh besar sekali korban yang saya berikan, memang kalau diukur dengan fikiran, saya ini hanya pantas menjadi saudara Zainab, menjadi pembelanya, tetapi cinta mempunyai suatu lapangan yang lebih luas daripada ukuran fikiran itu. Inilah yang tertulis dalam hati, yang sukar dilupakan selamanya. Ada suatu jawapan yang tergantung, yang saya sempat dengar dari mulut Zainab, dan keras persangkaan saya akan dirinya pada hari itu; itulah yang sentiasa menjadi penyakit pada saya, tetapi menjadi ubat juga.

Kemudian saya insaf, bahawa alam ini penuh dengan kekayaan. Allah menunjukkan kuasaNya. Tidaklah adil jika semua makhluk dijadikan dalam tertawa, yang akan menangis pun ada pula. Kita mesti mengukur perjalanan alam dengan ukuran yang luas, bukan dengan nasib diri sendiri.

Bukankah patut saya syukur dan terima kasih, sebab seorang perempuan tua dapat saya tolong, saya patahkan hati anaknya yang hanya satu tempat menumpahkan segala pengharapannya. Kalau kelak terjadi perkahwinan Zainab dengan kemanakan ayahnya dan mereka hidup beruntung, sehingga Mak Asiah waktu menutup mata tidak merasa bahawa ia masih ada hutang piutang dengan anaknya, bukankah saya telah mengusahakannya?

Memang, mula-mula hati itu mesti bergoncang; bukahkan loceng-loceng dirumah juga berbunyi keras dan berdengung jika kena pukul? Tetapi akhirnya, dari sedikit ke sedikit, dengung itu akan berhenti juga. Cuma saja saya mesti berikhtiar, supaya luka-luka yang hebat itu jangan mendalam kembali, saya mesti berusaha, supaya ia beransur-ansur sembuh. Untuk itu saya mesti berusaha, saya mesti meninggalkan Kota Padang, terpaksa tak melihat wajah Zainab lagi, saya berjalan jauh.


Setelah saya siapkan segala yang perlu dan rumahtangga saya pertaruhkan kepada salah seorang sahabat handai yang setia, dengan tak seorang pun yang mengetahui, saya berangkat meninggalkan Kota Padang, kota yang permai dan yang sangat saya cintai itu, dengan  menekankan dan membunuh segala perasaan yang sentiasa mengharu hati, saya tumpangi kereta yang berangkat ke Siantar.  Di kiri kanan saya banyak penumpang lain yang akan menuju ke kota Medan, setelah saya sampai ke Medan, saya buat surat kepada Zainab, sesudah hati saya, saya beranikan; itulah surat saya yang pertama kali kepadanya. Jika kelak ternyata dia tak cinta kepada saya, syukur, sebab saya tak melihat mukanya yang kesal membaca surat. Tetapi kalau ia nyata ada mempunyai perasaan sebagi yang saya rasai dan surat itu diterimanya dengan sepertinya, tentu sekurang-kurangnya saya akan menerima belas kasihannya, sebagai seorang melarat yang diarak oleh untung nasib saya.

Demikian bunyi surat itu masih hafaz oleh saya:

"Menyesal sekali, kerana sebelum berangkat tak sempat saya bertemu muka dengan adinda lebih dahulu, maafkanlah adik, kerama amat banyak halangan yang menyebabkan saya tak sempat datang ketika itu, halangan yang tak sapat saya sebutkan.

Barangkali agak sedikit tentu adik bertanya juga dalam hati, apa gerangan sebabnya abang Hamid berangkat dengan tiba-tiba. Biarlah hal itu menjadi soal buat sementara waktu, lama-lama tentu akan hilang jua dengan sendiri.

Banyak hal-hal yang akan saya terangkan dalam surat ini, tetapi tak sanggup pena saya menulisnya. Hanya dengan surat ini saya bermohon sangat supaya adik menuruti cita-cita ibu. Jika kelak maksud famili sampai dan adik bersuami; berikan kepadanya kesetiaan yang penuh.

Akan hal diri saya ini, ingatlah sebagai mengingat seorang yang telah pernah bertemu dalam peri penghidupanmu, seorang sahabat dan boleh juga disebut saudara yang ikhlas dan saya sendiri akan memandang tetap engkau sebagai adikku.

Jika pergaulanmu kelak dengan suamimu berjalan dengan gembira dan beruntung, sampaikanlah salam abang kepadanya. Katakan bahawa di suatu negeri yang jauh, yang tak tentu tanahnya, ada seorang sahabat yang sentiasa ingat akan kita. Dan biarlah Allah memberi perlindungan atas kita semuanya.

Wassalam abangmu,

Hamid


Demikianlah bunyinya surat yang saya kirimkan. Tiada lama saya di Medan, saya menuju ke Singapura, mengembara ke Bangkok, belayar terus memasuki tanah-tanah Hindustan, dan dari Karachi belayar menuju ke Mesir masuk ke Iraq, melalui Sahara Najad dan akhirnya sampailah saya ke tanah suci ini.

Sekarang sudah tuan lihat, saya telah ada di sini, di bawah lindungan Ka`bah yang suci, terpisah daripada pergaulan manusia yang lain. Di sinilah saya selalu tafakur memohon kepada Tuhan seru sekalian alam, supaya ia memberi saya kesabaran dan keteguhan hati menghadapi kehidupan.

Setiap malam saya duduk beri`tikaf di dalam Masjidil Haram, doa saya telah berangkat ke langit biru, membumbung ke dalam alam ghaib bersama-sama permohonan segala makhluk yang makbul.

Segala ingatan kepada zaman yang lama-lama, dari sedikit beransur-ansur lupa juga. Cuma sekali-sekali ia terlintas difikiran, ketika itu saya menarik nafas panjang, kerana biar pun luka sembuh dengan kunjung, bekasnya mesti ada juga. Tetapi hilang pula dengan segera, bila saya bawa tawaf dan sa`ie (berjalan antara Safa dan Marwah), atau saya bawa bertekun di dalam masjid tengah malam. Sudah hampir datang tamaninah (ketetapan) ke dalam hati saya menurut persangkaan saya mula-mula, tamatlah cerita ini sehingga itu.


BERITA DARI KAMPUNG 

Setelah setahun saya di sini dan waktu mengerjakan haji telah datang. Tuan sendiri yang mula-mula saya kenal semenjak orang-orang yang akan mengerjakan haji dari tanah air kita. Kemudian sebagai tuan maklum, datanglah pula saudara kita Saleh ini. Saleh adalah salah seorang teman saya semasa kami bersekolah agama di Padang dan Padang Panjang; oleh kerana sekolahnya di Padang telah tamat, dia hendak meneruskan pelajarannya ke Mesir, ia singgah di Mekah ini untuk mencukupkan rukun. Sekarang ia berangkat ke Medinah, supaya sehabis haji dapat ia menumpang kapal yang membawa orang Mesir kembali yang sewanya lebih murah dari kapal-kapal lain.

Dengan kebetulan sekali, dia telah memilih syeikh kita menjadi tempatnya, menumpang, sehingga sahabat lama itu bertemu kembali, setelah kami bercerai selama itu.

Wahai tuan. kedatangannya telah menghidupkan ingatan kembali kepada yang lama-lama, dia menceritakan kepadaku, bahawa dia telah beristeri dan isterinya telah sudi melepaskan die belajar sejauh itu.

Padahal mereka baru saja berkahwin. Dipujinya isterinya sebagai seorang perempuan yang setia, yang teguh hatinya melepaskan suaminya berjalan jauh, kerana untuk menambah pengetahuannya. Setelah beberapa hari dia datang, dibawanya saya ke Maala di atas sebuah bangku di halaman qahwa ia membicarakan akan suatu hal yang sangat menggerakkan fikiran saya.

Sambil meminum syahi (teh) Arab yang panas dan enak, ia mulai berkata:
"Hamid! Tempoh hari sudah saya katakan, bahawa saya telah beristeri, isteri saya itu ialah Rosnah..ingatkah engkau akan Rosnah, sahabat karib Zainab?"

Saya pucat mendengar nama Zainab disebutnya. Kerana sudah lama benar saya tiasa mendengar nama itu disebut orang, kecuali saya sendiri, perubahan muka saya itu dilihat oleh Saleh sambil tersenyum duka.

"Kerapkali isteriku disuruhnya datang kerumahnya" katanya meneruskan ceritanya." Kerana hubungan persahabatan mereka itu yang karib. Rupanya Zainab telah sudi membukakan rahsia-rahsianya yang sulit kepada isteri saya. Yang paling hebat, ialah seketika pada suatu hari isteri saya datang ke rumahnya, didapatinya Zainab merenung sebuah album, di dalam album itu terkembang sehelai surat kecil yang telah lusuh dan lunak, kerapkali dibaca dan dibuka lipatannya. "Setelah adinda kelihatan olehnya" kata isteriku, "album itu ditutupnya dengan segera dan surat itu disimpannya baik-baik ke dalam laci mejanya, setelah itu dia kelihatan kepada adinda dengan tenang, wajahnya muram, matanya berbekas tangis dan dia menarik nafas panjang".


"Tiada tahan rupanya hati isteriku melihat kejadian itu, maklumlah kaum perempuan itu seperasaan, lalu ia berkata: "Zainab!.... mengapa engkau menangis pula, sahabat? Tidakkah di rumah yang sepermai ini sarang orang yang berdukacita.Di rumah yang indah-indah dan gedung yang permai, yang di kiri kanannya dikelilingi oleh kebun-kebun yang subur, cukup dengan orang-orang gajian yang setia, tiadalah patut terdapat orang yang mengalirkan airmata. Disana tidaklah ada kesedihan dan kedukaan."

Zainab menjawab: "Salah sekali persangkaanmu, sahabat! Bahawasanya airmata tidaklah ia memilih tempat untuk jatuh, tidak pula memilih waktu untuk turun. Airmata adalah kepunyaan bersyarikat, dipunyai oleh orang-orang yang melarat yang tinggal di dangau-dangau yang buruk, oleh tukang sabit rumput yang masuk ke padang yang luas dan ke tebing yang curam, dan juga oleh penghuni gudang-gudang yang permai dan istana-istana yang indah. Bahkan di situlah lebih banyak orang menelan ratap dan memulas tangis. Luka jiwa yang mereka hidupkan, dilingkung oleh tembok dinding yang tebal dan tinggi, sehingga yang kelihatan oleh orang di luar penuh dengan kepahitan."

"Kesedihan orang lain lebih merdeka dan lebih puas, dapat ia menerangkan fahamnya yang tertumbuk kepada alam yang sekelilingnya, dapat pula mereka lupakan dan menghilangkan. Tetapi di rumahtangga yang sebagai ini, kedukaan akan dirasakan sendiri, airmata akan dicucurkan seorang, rumah dan gedung menjadi kubur kesedihan yang tiada berhujung".

Airmata Zainab kembali jatuh.

"Mengapa engkau menangis juga, sahabatku! Kesedihan apakah yang engkau tanggungkan? Teringatkah engkau kepada ayahmu? Kalau demikian, engkau salah, Zainab! Lupa engkau agaknya, bahawa kedukaan itu tumbuh diapit oleh dua rumpun kesukaan."
"Bukan demikian, sahabat!" jawabnya. "Buat diriku sendiri, Tuhan telah mentakdirkan berlainan dari orang. Kedukaanku tumbuh di antara dua kedukaan pula. Dahulu saya telah berduka, sekarang berdukacita dan kelak akan terus berluka hati."
"Engkau mengesali nasib, Zainab!"
"Menyesali nasib saya tidak, menyedar untung saya bukan, melainkan yang sebetulnyalah yang saya katakan."
"Zainab! Kalau tidak akan merbahaya benar, nyatakanlah kepadaku, apa yang menjadi sebab dukacitamu sebesar itu benar. Kerana sudah agak lama saya melihat mukamu muram, sehingga airmata saya sendiri kerapkali bersyarikat, tercurah untuk kesedihanmu, sahabat! Saya akan meratap menuruti ratap engkau, kerana tidak ada kepandaian kita kaum perempuan selain dari menangis."

Laksana seorang anak yang memohon dikasihani, dipeluknya Rosnah, seketika lamanya kedua sahabat itu berpeluk-pelukan, bertangis-tangis tiada berkata-kata.
"Sudahlah, zainab, ingatlah akan dirimu, kelak engkau, demikian pun saya, ditimpa oleh penyakit lain. Ceritakanlah kepada saya hal yang engkau rahsiakan itu, mudah-mudahan kerana sesudah ada tempat menerangkan, tanggungan itu supaya ringan sedikit, sebab beban untuk sendiri telah dibahagi dua." Mula-mula termenung, setelah beberapa saat lamanya ia pun berkata:



HARAPAN DALAM PENGHIDUPAN

"Ingatkah engkau, Ros, bahawa duhulu ada tinggal berhampiran rumahku ini seorang anak muda bernama Hamid?"
"Masihkah aku tak ingat, anak muda yang baik budi dan beroleh pertolongan daripada almarhum ayahmu."
"Ah, Ros, saya amat kasihan kepada orang muda itu, dia seorang muda yang hidup miskin, mendapat bantuan daripada ayahku, semasa usianya baru 4 tahun ayahku yang membantunya, dan seketika sekolahnya akan lanjut, ayahku meninggal pula, kemudian meningal ibunya. Rupanya kerana ia sentiasa dirundung malang, sangatlah dukacita hatinya, berbulan-bulan khabar tidak berita pun tidak, budinya baik sekali, pekertinya tinggi dan mulia; memang dalam kalangan orang-orang yang dirudung malang itu kerapkali timbul budi pekerti yang mulia, timbul dengan baik dan suburnya, bukan kerana latihan manusia.

"Bertahun-tahun lamanya kami hidup seperti adik beradik; maka pada dirinya saya dapati beberapa sifat yang tinggi dan terpuji, yang agaknya tidak ada pada pemuda-pemuda lain, baik dalam kalangan bangsawan atau hartawan sekalipun. Sampai kepada saat yang paling akhir daripada kehidupan ayahku, belum pernah ia menunjukkan suatu perangai yang patut dicela, sehingga ibu-bapaku amat memuji akan dia. Ia tahu benar akan kewajipannya. Wahai Ros, saya tertarik benar kepadanya dan kepada tabiatnya. Ia suka sekali bersunyi-sunyi, memisahkan diri daripada pergaulan ramai, laksana seorang pendita bertapa yang benci akan dunia lata ini. Kerapkali ia pergi bermenung ke tepi pantai samudera Hindi yang luas itu, memerhatikan pergelutan ombak dan gelombang, seakan-akan fikirannya terpaku telah terpaku kepada keindahan alam ini. Bila dia pulang ke rumah ibunya yang dicintai, ia menunjukkan khidmatnya dengan sepertinya bila dia bertemu dengan saya, buah katanya tiada keluar dari lingkar kesopanan, tahu ia menimbang hati dan menjaga kata.

Sebagai yang kau tahu, kita pun tamat dari sekolah, maka adapt istiadat telah mendinding pertemuan kita dengan lelaki yang bukan muhrim bukan saudara atau famili karib, waktu itulah saya merasai kesepian yang sangat. Saya merasa kehilangan seorang teman yang sangat saya takjupi. Keadaan memisahkan saya dengan dia, tiada dapat lagi saya mendengarkan buah tuturnya yang lemah lembut. Waktu itulah saya insaf, bahawa saya sudah ditimpa suatu perasaan yang ganjil, saya lengang dan sunyi, ingatan saya sebentar-sebentar kembali kepada Hamid saja.

"Engkaukan tahu, Ros, Hamid tidak begitu gagah, tidak sepantas dan segalak pemuda lain, tetapi hati kecilku amat kasihan kepadanya, agaknya, hidupnya yang sederhana itulah yang telah memaut hati sanubariku. Saya sangat hiba kepadanya kerana saya merasa tak ada orang lain yang akan menghibai dirinya. Hairan Ros, saya telah karam di dalam khayal, di dalam angan-angan. Kadang-kadang saya singkirkan dia dari fikiran, kerana timbul memikirkan takburku memikirkan darjatku, saya merasai ketinggian dan kemuliaan diriku, lebih daripada kedudukan darjat Hamid dan saya takut terjatuhnya ke dalam jurang cinta, tetapi orang mengkhabarkan bahawa takut itupun setengah daripada rupa cinta juga."

Maka di antara awan yang gelap gelita dan angin badai yang berhembus semenjak pertengahan malam, tiba-tiba cahaya fajar pun naiklah, itulah kenang-kenangan dan pengharapan, daripada cinta dan rindu dendam. Sebenarnya Ros, saya cinta kepada Hamid.

Biar engkau tertawakan daku, sahabat, biar mulutmu tersenyum simpul, saya akan tetap berkata, bahawa saya cinta kepada Hamid. Ia tidak berpembela, tidak ada orang yang akan sudi menyerahkan diri menjadi isterinya, kerana dia miskin, tidak ada gadis yang akan sudi mempedulikan dia, kerana rupanya tak gagah. Itulah sebabnya dia saya cintai, hartaku ada sedikit, cukup untuk membantu cita-citanya, kerana saya lihat dia akan menjadi seorang ahli seni jika ada yang membantu. Buat saya dialah orang yang paling pantas dan cekap. Meskipun bagi orang lain agaknya tidak. Saya leluasa melihatnya lalu lintas di halaman rumah, meskipun dia tak melihat saya. Jika sekali-sekali dia datang mengunjungi ibuku, aku dengarkan perkataannya yang penuh dengan ilmu dan pengetahuan itu baik-baik.

Pada suatu hari, hari yang tak dapat saya lupakan, ia datang kerumah ini menemui ibuku. Ketika itu ibu tiada di rumah, tiba-tiba saya bertemu muka dengan dia. Rupanya ada perkataan yang hendak dikatakannya, mulutnya masih gugup dan tak lancar, rasa-rasa terdengar olehku sekarang:
"Zainab, sebenarnya tidaklah pernah saya lupa hendak datang kemari, barangkali engkaulah yang agak lupa kepadaku."

Alangkah nikmatnya rasa hatiku mendengar perkataannya itu, tetapi belum sempat saya menyusun kata untuk menjawab, ibu datang, perkataan kami terhenti sehingga itu. Badanku serasa bayang-bayang perkataannya menjadi teka-teki bagi hatiku, adakah tutur katanya itu daripada rasa pertalian adik dan abang saja atau daripada kesucian cinta?

"Agaknya, engkau pandang rendah saya ini, Ros, mencintai seorang yang tiada bersekedudukan dengan diri sendiri, dan jauh tak tentu tempatnya."

"Waktu itu isteriku menjawab," kata Saleh, ujarnya: "Tidak Nab, cinta itu adalah perasaan yang mesti ada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci, Cuma tanahnya lah yang berlainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipuan, langkah serong dan lain-lain perangai yang tercela. Tetapi kalau ia jatuh ke tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budipekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji. Saya tiada hendak menghinakan engkau kerana jatuh cinta padanya, wahai sahabatku Zainab, dan saya banyak pula membaca dalam buku-buku, bahawa biasa cinta yang suci bersih itu tidaklah tumbuh dengan sendirinya, kerana jiwa itu bertemu dengan batin, dalam azal (baka) kejadian Allah sebelum badan kasar manusia ini berkenalan. Itulah kuasa ghaib yang perlu kita percayai. Sebab itu saya percaya bahawa cintamu tak jatuh ke pasir tentu saja Hamid mencintai engkau pula; tidaklah jiwa engkau tertarikh mengingat akan dia, kalau kiranya jiwanya tak mengingat engkau pula. Hati orang yang bercinta mempunyai mata, ia dapat melihat barang yang tak dilihat oleh orang lain."

"Ah," jawab Zainab "Itu cuma kira-kira dan agak-agak belaka, agak-agak dan kira-kira tak dapat dipercayai, masakan orang yang berpisah sangat jauh, tak berhubungan surat sedikit jua pun akan ingat kepada orang yang ditinggalkannya."
"Jangan begitu, Zainab, engkau tiada percaya percakapanku, kerana hatimu terlalu dipengaruhi oleh angan-anganmu. Percayalah bahawa Hamid ingat pula akan engkau."

"Wahai! kesana rumit..ke sini rumit, Ros; saya percayai bahawa dia ingat kepadaku sebagaimana saya ingat kepadanya, entah agaknya saya menggantang-gantang asap. Tidak saya percayai, hati saya bertambah luka. Saya tahu mengingat orang jauh itu penyakit, tetapi saya pun takut penyakit itu akan hilang dari hati saya, aduh gusti Allah!!"

Setelah itu terhenti sendiri percakapan kedua sahabat itu. Yang kedengaran hanya sedu-seduan dua orang seperasaan dan yang kelihatan ialah orang yang keluh kesah putus asa."

Sekianlah cerita yang dibawa oleh sahabat kita Saleh itu. Tidak berapa lama ia menerima riwayat ganjil itu dari isterinya, ia pun berangkat. Rupanya dengan takdir Tuhan, kami pun bertemu di tanah suci ini, pertemuan yang tidak di sangka-sangka sedikit pun.

"Barangkali terganggu perjalanan jiwamu menuju bakti kesucian kerana mendengar berita yang saya bawa itu" kata Saleh. "Tetapi saya sebagai orang yang tiada tahan memegang rahsia sehingga terkatakan juga olehku kepada engkau, dan beruntung engkau Hamid. Berbahagia sekali."

"Apakah keuntungan dan bahagianya cinta yang tak berpengharapan?" Tanya saya dengan tiba-tiba kepadanya.


"Bukanlah cinta itu sudah satu keuntungan dan satu pengharapan Hamid?" tanyanya pula.

Setelah itu saya menerangkan berita itu, tidak berapa hari kemudian Saleh mengirimkan sepucuk surat buat isterinya Rosnah menerangkan pertemuan kami dengan tiba-tiba itu.

Tuan! Telah bertahun-tahun saya berjalan di dalam gelap gelita. Tidak tentu arah yang saya tempuh, tidak kelihatan suatu bintang di halaman langit akan saya jadikan pedoman dalam menuju perjalanan itu demi setelah sampai berita yang demikian. Seakan-akan kegelapan itu terang sedikit ke sedikit, sebab dari Timur melintang cahaya fajar, cahaya yang saya nanti-nanti, cahaya itu lebih benderang dari cahaya suria, lebih nyaman dari cahaya bulan dan lebih dingin dari cahaya kelap-kelip bintang-bintang.

Saya hidup laksana seorang buangan yang tersisih pada suatu padang belantara yang jauh laksana seorang bersalah besar yang dibuang negeri, tiada manusia yang datang menengok, tidak ada famili yang melihat, ditimpa oleh haus dan dahaga, sekarang saya telah lepas dari pembuangan, saya telah dibolehkan pulang dan beroleh ampun, telah ada manusia yang lalu-lintas, telah hilang haus dan dahaga, sekarang baru saya tahu dan mengerti, bahawa sukacita itu ada juga dijadikan Tuhan di dalam dunia fana ini.

Dahulu kalau disebut orang kepada saya untung dan bahaya, tidak lain yang terlintas dalam fikiran saya daripada rumah yang indah, gedung yang permai, wang berbilang, emas bertahil, cukup dengan kenderaan dan kehormatan, dijunjung orang ke mana pergi. Sekarang saya telah insaf, bahawa semua itu bukan untuk bahagia, yang sejati ialah jika kita tahu, bahawa kita bukan hidup terbuang di dalam dunia ini, tetapi ada orang yang mencintai kita.

Lebih setahun saya menghilangkan diri, tidak ada orang lain yang bertanya hal ehwal saya dan saya pun tak bertanya hal ehwal orang lain. Segala kesakitan hidup telah saya tanggungkan. Ada juga orang yang menyatakan kasihan, ada orang yang lalu lintas di hadapan saya, sambil menggelengkan kepala. Tetapi bukanlah mereka mengasihi jiwa saya, mereka mengasihi tubuh kasar saya yang kurus tak makan atau ditimpa penyakit. Semuanya tiada erti buat saya. Sekarang barulah saya tahu diri saya ada harganya buat hidup, sebab ada orang yang mencintai saya, yaitu orang yang saya cinta.

Dahulu saya telah putus asa hendak hidup, kadang-kadang terlintas di dalam hati saya hendak membunuh diri. Akan sekarang, wahai tuan, saya hendak hidup, hendak merasai kelazatan cahaya matahari sebagai orang lain pula, sebab pengetahuan hidupku telah ada.

************ ********* ************

Habislah cerita sahabatku Hamid hingga itu, mukanya kelihatan berseri-seri, sebab simpanan di dadanya meluap selama ini telah dapat ditumpahkannya kepada orang yang dapat dipercayainya.

Waktu itu saya menjawab sambil bergurau sedikit: "Insya Allah, habis mengerjakan haji saya akan lekas kembali pulang, mudah-mudahan kita dapat pulang bersama-sama."

Iapun menjawap sambil tersenyum " Mudah-mudahan!”


SURAT-SURAT 

Sepuluh hari sebelum orang-orang haji berangkat ke `Arafah mengerjakan wuquf jemaah-jemaah telah kembali dari ziarah besar ke Madinah. Waktu itulah pula Saleh kembali ke Mekah. Surat balasan dari isterinya yang datang sepeninggalannya ke Madinah telah kami serahkan ke tangannya. Dalam minggu itu juga datang surat Zainab kepada Hamid.

Salinan surat Rosnah.

Kandaku tuan!
Surat kekanda telah adinda terima, surat yang telah lama adinda harap-harapkan! Disini ada beberapa perkataan lagi isteri (yang tak perlu saya salin). Akan hal Zainab ia sekarang sakit-sakit, badannya telah kurus agaknya kerana selalu ingat segala kejadian yang lama-lama itu, adinda, tiada dapat menahan hati, melihat surat kekanda kepadanya.
Seketika membaca surat itu, badannya kelihatan gementar, entah kerana cemasnya entah kerana harapannya, dapatlah kekanda maklumi sendiri. Ia sangat harap dan sangat rindu hendak bertemu dengan Hamid, tetapi hatinya menjadi syak wasangka memikirkan badannya yang selalu tiada sihat itu, entah akan bertemu juga entah tidak.

Alangkah beruntungnya dua orang bersahabat itu kelak, jika mereka dapat bertemu kembali. Ya, mudah-mudahan Allah yang pengasih lagi penyayang mengkabulkan permohonan hambaNya,
Amin!

Rosnah.

Salinan surat Zainab

Abangku Hamid!


Baru sekarang adinda beroleh berita di mana abang sekarang. Telah hampir dua tahun hilang saja dari mata, laksana seekor burung yang terlepas dari sangkarnya sepeninggalan yang empunya pergi. Kadang-kadang adinda sesali diri sendiri. Agaknya adinda telah bersalah besar sehingga kekanda pergi tak memberitahu dahulu.

Sayang sekali, pertanyaan abang belum adinda jawab dan abang hilang sebelum mulutku sanggup menyusun perkataan penjawabnya. Kemudian itu abang perintahkan adinda menurut perintah orang tua, tetapi adinda syak-wasangka melihatkan sikap abang yang gugup ketika menjatuhkan perintah itu.

Wahai abang! Pertalian kita diikat oleh beberapa macam tanda tanya dan tekateki, sebelum terjawab semuanya, kita telah berpisah dengan tiba-tiba. Memang demikiankah kehendah takdir?

Adinda sentiasa tiada putus pengharapan, adinda tunggu khabar dan berita. Di balik tiap-tiap kalimah daripada suratmu. Abang!....surat yang terkirim dari Medan, ketika abang akan belayar jauh, telah adinda periksa dan adinda selidik; banyak sangat surat itu berisi bayangan, di balik yang tersurat ada yang tersirat. Adinda hendak membalas tetapi kearah manakah surat itu hendak adinda kirimkan, abang hilang tak tentu rimbanya!

Hanya kepada bulan purnama di malam hari adinda bisikkan dan adinda pesankan kerinduan adinda hendak bertemu. Tetapi bulan itu tetap tak datang; pada malam yang berikutan dan seterusnya ia kian kusut!. Hanya kepada angin petang yang berhembusan di ranting-ranting kayu di dekat rumahku, hanya kepadanya ku bisikkan menyuruh supaya ditolongnya memeliharakan abangku yang berjalan jauh, entah di darat di laut entah sengsara kehausan.


Hanya kepada surat abang itu, surat yang hanya sekali itu adinda terima selama hidup adinda tumpahkan airmata, kerana hanya menumpahkan airmata itulah kepandaian yang paling penghabisan bagi orang perempuan. Tetapi surat itu bisu, meski pun ia telah lapuk dalam lipatan dan telah layu kerana kerap dibaca, rahsia itu tidak juga dapat dibukanya.

Sekarang abang, badan adinda sakit-sakit, ajal entah berlaku pagi hari entah besok petang, gerak Allah siapa tahu, besarlah pengharapanku supaya abang dapat pulang, dapat juga hendaknya kita bertemu!. Dan jika abang terlambat pulang, agaknya bekas tanah penggalian, bekas air penalkin dan jejak mijan yang dua, hanya yang akan abang dapati.

Adikmu yang tulus:

Zainab.


Wahai, akan dapatkah dilukiskan, dapatkah diperikan bagaimana wajah Hamid ketika membaca surat itu? Dapatkah, mungkinkah dikira-kirakan bagaimana perasaannya di waktu itu? Surat demikian adalah pengharapannya selama ini, pengharapannya dan buah mimpinya semasa ia masih bergaul, memikirkan kerendahan darjatnya, tiadalah disangka-sangkanya bahawa ia akan seberuntung itu, menerima surat dari Zainab, belumlah besar kegembiraan seorang budak jika ia diajak tersenyum oleh penghulunya; belumlah besar sukacita seorang pelayan istana jika ia dianugerahi sebentuk cincin oleh rajanya. Surat tanda cinta dari seorang perempuan, perempuan yang mula-mula dikenal dalam penghidupan seorang pemuda, adalah lebih berharga kepada senyuman seorang penghulu daripada budaknya yang lebih mulia daripada sebentuk cincin yang dianugerahkan raja kepada pelayannya. Satu hati, adalah lebih mahal daripada senyuman, satu jiwa adalah lebih berharga daripada sebentuk cincin.

Tetapi malang kerana surat itu diterima Hamid, ketika dia telah jauh dari hadapan Zainab. Apa lagi manusia tidak dapat menentukan nasibnya sendiri.


DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH

Pada hari kelapan Zulhijjah perintah daripada syeikh kami menyuruh menyiapkan segala keperluan untuk berangkat ke `Arafah, kerana pada hari kesembilan akan wuquf (Berhenti sehari lamanya) di sana. Berangkat itu ialah tiga hari setelah kami menerima surat tersebut.

Akan hal Hamid, bermula menerima surat itu tidaklah berkesan pada mukanya, bahawa dia dipengahruhi oleh isinya, tetapi setelah sehari dua hari, kelihatan ia termenung saja, bertambah daripada biasa, ketika kami tanyai keadaannya, ia mengatakan, bahawa badannya terasa sakit-sakit. Tetapi oleh kerana pergi wuquf ke `Arafah menjadi rukun daripada mengerjakan haji, tak dapat tidak ia pun mesti ikut ke sana. Maka dipasanglah sakdup-sakdup di punggung unta yang beribu-ribu banyaknya. Bersedia hendak membawa orang haji ke `Arafah itu. Kira-kira pukul empat petang, jemaah-jemaah telah berangkat berduyun-duyun menuju ke `Arafah, jalan sempit dan penuh oleh manusia dan kenderaan berbagai-bagai, ada yang mengenderai keldai, kuda dan unta, tetapi yang paling banyak duduk dalam sakdup iaitu dua buah tandu yang dipasang kiri kanan punggung unta. Saya bersama dengan Hamid menumpang dalam satu sakdup.

Di `Arafah sangat benar panasnya, sehingga ketika berhenti di tempat itu sehari lamanya, kita ingat-ingat akan berwuquf kelak di padang Mahsyar. Setelah matahari terbenam kami kembali menuju ke Mina, berhenti sebentar di Muzdalifah memilih batu untuk melempar "Jumrah" di Mina itu kelak. Setelah berdiam di Mina pada hari yang ke sepuluh, ke sebelas, kedua belas, ketiga belas, bolehlah kembali ke Mekah mengerjakan tawaf besar dan Sai`e, setelah itu bercukur, sehabis bercukur baru disebut "haji".

Pada perhentian besar di Mina itu, orang-orang yang kaya menyembelih korban untuk fakir dan miskin.

Sekarang kembali diceritakan keadaan Hamid. Demamnya yang dibawa dari Mekah bertambah menjadi-jadi, lebih-lebih setelah mendapat hawa yang panas di `Arafah itu. Di sana banyak orang yang mati kerana kepanasan. Hamid tak mahu lagi makan, badannya sangat lelah, sehingga seketika berangkat ke Mina ia tiada sedarkan dirinya, demi melihat hal itu, jantung saya berdebar-debar, saya kasihan kepadanya. Kalau-kalau di tempat itulah dia akan bercerai buat selama-lamanya dengan kami, lebih-lebih melihat mukanya yang sangat pucat dan badannya yang sangat lemah.

Setelah selesai penyembelihan besar itu, pada hari yang ke sebelas kami berangkat ke Mekah, yaitu mengerjakan rukun yang agak cepat, tidak menunggu sampai tiga hari. Sebelum mengerjakan tawaf besar itu, lebih dahulu kami singgah ke rumah kami. Kerana penyakit Hamid rupanya bertambah berat, terpaksalah kami mencarikan orang Badwi upahan, yang biasanya menerima upah mengangkat orang sakit mengerjakan tawaf. Sebelum Hamid diangkat ke atas bangku itu, yang diberi hamparan daripada kulit dahan kurma berjalin, khadam syeikh datang terburu-buru menghantarkan sepucuk surat dari Sumatera, setelah kami buka, ternyata datangnya dari Rosnah. Muka Saleh menjadi pucat, jantung saya berdebar-debar membaca isinya yang tiada sangka-sangka, Zainab telah meninggal, surat menyusul, Rosnah.

Setelah dibacanya dengan sikap yang sangat gugup Saleh menyimpan surat kawat itu ke dalam sakunya, sambil memandang kepada Hamid dengan perasaan yang sangat terharu.

Tiba-tiba dari tempat tidurnya Hamid kedengaran berkata; "Surat apakah yang tuan-tuan terima? Apakah sebabnya tuan-tuan sembunyikan daripadaku? Adakah ia membawa duka atau khabar suka? Jika ia khabar suka, tidakkah patut saya diberi sedikit saja daripada kesukaan itu? Kalau khabar itu mengenani diri saya sendiri lebih baik tuan-tuan terangkan kepada saya lekas-lekas, tidaklah patut tuan-tuan sembunyikan lama-lama jangan dibiarkan saya di dalam sakit menanggung perasaan yang ragu-ragu."

"Tenagkanlah hatimu, sahabat! Kehendak Allah telah berlaku, ia telah memanggil orang yang dicintaiNya ke hadratNya."

"Oh, jadi Zainab telah dahulu daripadaku? " tanyanya pula.

"Ya, demikianlah, sahabat!"

Mendengar jawapan itu kepalanya tertekun, ia menarik nafas panjang, dari pipinya meleleh dua titik airmata yang panas.

Tidak beberapa saat kemudian, datanglah Badwi tersebut membawa tandu yang kami pesan, Hamid pun dipindahkan ke dalam dan diangkat dengan segera menuju Masjidil Haram, saya dan Saleh mengiringkan di belakang menurut Badwi yang berjalan cepat itu. Setelah sampai di dalam masjid, dibawalah dia tawaf keliling Ka`bah tujuh kali. Ketika sampai yang ke tujuh kali diisyaratkannya kepada Badwi yang berdua itu menyuruh menghentikan tandunya di antara pintu Ka`bah dengan batu hitam, di tempat yang bernama Maltezam, tempat segala doa yang makbul. Orang lain tawaf pula berdesak-desak. Dengan sifat sabar orang-orang Badwi mengangkat tandu ke dekat tempat yang tersebut. Hati saya sangat berdebar melihatkan keadaan itu, saya lihat muka Hamid, di sana sudah nampak terbayang tanda-tanda kematian. Sampai di sana dihulurkannya tangannya, dipegangnya kesoh kuat dengan tangannya yang telah kurus, seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi. Saya dekati dia, kedengaran oleh saya dia membaca doa demikian bunyinya:

"Ya Rabbi, ya Tuhanku, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, di bawah lindungan Ka`bah, rumah Engkau yang suci dan terpilih ini, saya menadahkan tangan memohon kurnia. Kepada siapa lagi yang saya akan pergi memohon ampun, kalau bukan Engkau ya Tuhanku!

Tidak ada suatu tali pun tempat saya bergantung, lain daripada tali Engkau, tidak ada pintu yang akan saya tutup, lain daripada pintu Engkau. Berilah kelapangan jalan buat saya, saya hendak pulang ke hasrat Engkau; saya menuruti orang-orang yang dahulu daripada saya, orang-orang yang bertali hidupnya dengan hidup saya.

Ya Rabbi, Engkaulah Yang Maha Kuasa, kepada Engkaulah kami sekalian akan kembali!"

Setelah itu suaranya tidak kedengaran lagi; di mukanya terbayang suatu cahaya muka yang jernih dan damai, cahaya keredhaan daripada Ilahi.

Di bibirnya terbayang suatu senyuman dan, sampailah waktunya lepaslah ia daripada tanggungan dunia yang amat berat ini, dengan keizinan Tuhannya, di bawah lindungan Ka`bah!

Pada hari itu selesailah mayat sahabat yang dikasihi itu dimakamkan di perkuburan Ma`ala yang masyhur.


SURAT ROSNAH YANG MENYUSUL  

Dua minggu sudah kejadian itu, datanglah surat Rosnah yang dijanjikannya kepada suaminya itu, demikian bunyinya:

"Kekanda yang tercinta!"

Adinda kirimkan surat ini menyusul surat kawat yang dahulu. Zainab meninggal. Apakah dari itu lagi yang harus adinda nyatakan? Dia telah menanggung penyakit dengan sabar dan tawakkal, mula-mula adinda hendak sampaikan khabar ini kepada Hamid, sebab sentiasa Hamid menjadi buah mulutnya sampai saatnya yang penghabisan, tiba-tiba kawat kekanda datang pula, Hamid telah menyusul kekasihnya.

Demikianlah kedua makhluk yang tidak beruntung nasibnya itu, mudah-mudahan arwahnya mendapat bahagia di akhirat.

Adinda harus mengaku, bahawa jarang sekali kita bertemu dengan seorang perempuan sebagai Zainab. Tidak ada orang yang tahu tentang keadaan dirinya, kecuali ibunya dan adinda. Pendengaran yang sampai kepadanya, bahawa Hamid ada di Mekah mengobarkan kembali akan api yang telah hampir padam.

Lima hari sebelum ia meninggal dunia, pagi-pagi benar dia sudah bangun dari tempat tidurnya, mukanya lebih jernih dari biasa. Dengan senyum dia berkata, bahawa dia bermimpi melihat Ka`bah, dantara manusia yang sedang tawaf. Dia melihat Hamid melambaikan tangannya memanggil dia, supaya mendekatkan kepadanya, setelah dia mendekat dia terbangun!.

Lepas hari itu, tidak banyak bicara lagi, doktor pun datang juga memeriksai dia, tetapi ketika melihat wajahnya, mengertilah adinda, bahawa ubat yang dibawanya sebenar-benarnya ialah buat ibu Zainab, tidak buat Zainab lagi, sebab di tangga ketika dia akan pulang, jelas benar oleh adinda doktor itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pada malam 9 Zulhijjah panasnya naik daripada biasa. Kira-kira pukul dua tengah malam, dipandangnya adinda tenang-tenang, kemudian dilihatnya pula buku album yang terletak di meja tulisnya; adinda pun mengertilah apa yang dimaksudkannay. Adinda ambil album itu dan adinda buka. Demi dilihatnya gambar Hamid, jatuhlah dua titis airmata yang bulat dari mata yang telah cekung itu. Setelah itu diambilnya tangan ibunya, dibawanya ke dada. Maka dengan beransur-ansur, laksana lampu yang kehabisan minyak, bercerailah badannya dengan sukmanya.

Kekanda, demikianlah kematian zainab, dan sekarang suatu pula yang menjadikan was-was adinda, iaitu keadaan ibunya, bagaimanakah kelak perasaan perempuan itu kerana kehilangan anaknya.

Sekianlah dan buat semangat orang yang telah mati, adinda kirimkan salamku dan moga kekanda lekas pulang.

Adindamu
Rosnah

PENUTUP  

Kian lama kian sunyilah tanah Mekah. Bukit-bukit yang telah gondola itu tegak dengan teguhnya laksana pengawal yang menyaksikan dan menjagai orang haji yang beransur pulang ke kampong masing-masing. Kedai-kedai kian sudah tutup, sebab 6 bulan pula lamanya pasar akan sepi. Tidak putus-putus unta berarak-arak diiringkan oleh gembalanya bangsa Badwi sambil bernyanyi-nyanyi.

Sehari sebelum kami meninggalkan Mekah, pergilah kami berziarah ke perkuburan Ma,ala tempat Hamid dikuburkan. Di sana masih bertemu kesannya, meskipun agak sukar mencarinya, sebab telah banyak pula orang lain yang berkubur. Saya hadapkan muka saya ke pusara itu dan saya berkata:

"Penghidupanmu yang tiada mengenal putus asa, kesabaran dan ketenangan hatimu menanggung sengsara, dapatlah menjadi tamsil dan ibarat kepada kami. Engkau telah mengambil jalan yang lurus dan jujur di dalam memupuk dan mempertahankan cinta."

“Allah adalah Maha adil, jika sempit bagimu dunia ini berdua, maka alam akhirat adalah lebih lapang dan luas, di sanalah kelak makhluk menerima balasan dari kejujuran dan kesabarannya; di sanalah penghidupan yang sebenarnya, bukan mimpi dan bukan khayalan.”

"Kami pun dalam menunggu titah pula, sebab ada masanya datang dan ada masanya pergi. Selamatlah, moga-moga Allah memberi berkat atas jiwamu dan jiwa Zainab."

Pukul empat petang kami tawaf keliling Ka`bah "Tawaf Wida" ertinya tawaf selamat berpisah. Sehari itu juga kami akan berangkat ke Juddah. Saudaraku Saleh belayar dengan kapal yang menuju ke Mesir.

Dan kapalku memecahkan ombak dan gelombang menuju ke tanahair yang tercinta!.

TAMAT  

"Dalam kerendahan diri, ada ketinggian budi,
"Dalam kemiskinan harta, ada kekayaan jiwa,
"Dalam kesempitan hidup, ada keluasan ilmu,
"Hidup ini indah jika segalanya kerana Allah S.W.T.



Penulis : Haji Abdul Malik Karim Abdullah (HAMKA)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters